Asal-Usul Dukuh Mengoneng
Kamis, 16 Februari 2012 by SEKAR ARUM W.Z in


        Menurut cerita dahulu Kabupaten Pemalang diperintah oleh seorang Adipati bernama Tumenggung Soeryonegoro. Sang Adipati mempunyai patih yang bernama Patih Jongsari.
          Adipati Tumenggung Soeryonegoro juga mempunyai seorang putri yang sangat cantik, bernama Putri sarioneng. Kecantikan sang putri membuat Patih Jongsari jatuh cinta padanya. Namun, sang patih tidak berani menyatakan cintanya itu.
          “Sebaiknya aku merahasiakan hal ini,” kata sang patih dalam hati.
          Di tempat lain Adipati Madiun sedang membicarakan sesuatu dengan anaknya, Raden Maoneng.
          “Pergilah engkau menunaikan Ibadah Haji, Maoneng! Tetapi lewatilah pelabuhan pemalang sebelum kau menyeberang ke Tanah Suci!” perintah Adipati Madiun.      “Baiklah ayahanda, ananda mohon pamit!” jawab Raden Maoneng.
          Setelah tiba di pemalang, Raden Maoneng menemui Adipati Soeryonegoro.
          “Saya datang untuk memenuhi pesan ayahanda saya, Adipati! Beliau menginginkan saya untuk singgah sementara di Pemalang sebelum saya meneruskan pengembaraan saya.”
          “Siapakah engkau dan dari manakah asalnmu?” tanya sang adipati.
          “saya Raden Maoneng. Saya putra Adipati madiun,” jawab Raden maoneng takzim.
          “Baiklah, kau kuizinkan untuk singgah sementara di sini,” kata Sang Adipati.
          Ketika sang putri melihat Raden maoneng, Ia jatuh cinta. Perasaan itu juga dimiliki oleh Raden Maoneng, ia juga jatuh cinta kepada sang putri.
          Tidak berselang lama hubungan dua sejoli itu diketahui oleh sang Adipati. Karena hatinya tertambat juga kepada Raden Maoneng, yang selama ini dikadipaten berperilaku baik, Sang Adipati menyetujui hubungan mereka.
          “Saya akan menerimanya dengan senang hati,” jawab Raen Maoneng senang.
          Upacara pernikahan antara sang putri dengan Raden Maoneng dengan meriah dan megah.
          Setelah beberapa bulan menikah, Raden Maoneng menyampaikan hasrat hatinya yang sesungguhnya kepada istrinya, yaitu mengembara ke Tanah Suci atau ibadah haji.
          “Dinda, kanda ingin meneruskan perjalanan untuk menunaikan Ibadah Haji. Apakah dinda mengizinkan?” tanya Raden Maoneng.
          “Hasrat kanda adalah hasrat yang suci. Dinda tak mungkin menghalanginya. Dinda hanya bisa mendoakan supaya kanda selamat di perjalanan,” tutur sang putri tulus.
          Raden Maoneng pun menyampaikan maksud hatinya kepada Sang Adipati. Sang Adipati un menyetujuinya dan memerintahkan patih Jongsari mengantarkan Raden Maoneng sampai di Bandar, di ujung utara kadipaten Pemalang.
          “patih Jongsari, tolong antarkan Raden maoneng sampai di Bandar. Ajaklah paara sentana kadipaten untuk mendampingimu!” perintah sang Adipati.
          “Baik, hamba akan melaksanakan titah Adipati semampu mungkin,”
          Namun, rupanya dendam Patih Jongsari karena hasratnya mencintai putri Adipati tidak kesampaian semakin membara. Dendam itupun ditimpakannya kepada Raden Maoneng.
          “Ikut aku!” paksa Patih Jongsari dengan menarik tangan Raden Maoneng.
          “Ada apa ini?” tanya Raden Maoneng tak mengerti Raden Maoneng. Sang Patih meletakkan jenazah Raden Maoneng yang bersimbah darah di bawah pohon tanjung. Konon, darahnya berbau harum. Sekarang tempat itu kita kenal dengan nama Tanjungsari. Nama Tanjungsari berasal dari kata pohon tanjung dan sari yang artinya darah, darah yang berbau harum.
“Putri makin cantik saja makn hari. Ayo. . .mau menikah denganku tidak?” rayu Sang Patih pada Sang Putri.
          Putri Sarioneng pun marah dan melaporkan perilaku patih Jongsari yang tidak sopan kepadanya itu kepada sang Adipati.
Sepeninggalan Raden Maoneng Sang Adipati merasa gusar karena menduga ada hal-hal yang tidak wajar, apalagi Sang Adipati mendengar laporan putri Sarioneng bahwa Patih Jongsari sudah berani meggoda dan merayu putrinya.
Atas permintaan putrinya, Sang Adipati menjalankan semedi, ngrogoh sukma, guna menyusul Raden Maoneng.
Sukma Sang Adipati melayang-layang, mencari sukma Raden Maoneng ke segala penjuru. Akhirnya, bertemulah sukma Sang Adipati d engan Sukma Raden Maoneng.
“Apa yang telah terjadi, ananda?” tanya Sang Adipati.
“Saya dibunuh oleh Patih Jongsari. Ia merasa cemburu dan iri kepada saya karena saya berhasil menyunting Putri Sarioneng. Ternyata Patih Jongsari sudah lama mencintai Putri Sarioneng,” Raden Maoneng menjelaskan.
“Astaga! Lebih baik hal itu kita bicarakan di Kadipaten saja. Sekarang masuklah engkau ke ragamu!” pinta Sang Adipati.
Setelah sukma Sang Adipati berhasilmembujuk sukma Raden Maoneng untuk kembali ke raganya, Sang Adipati pun mengajak Raden Maoneng kembali ke kadipaten.
Sesampainya di kadipaten, Raden Maoneng menceritakan kembali apa yang dialaminya kepada Sang Putri. Terbukalah kedok Patih Jongsari.
“Prajurit, tangkap Patih Jongsari dan bawa ia kepadaku!” perintah Sang Adipati dengan marah.
Patih Jongsri berlari ke arah selatan ketika akan di tangkap oleh para prajurit. Tak beberapa lama ia dpat di kepung oleh para prajurit. Tempat pengepungan tersebut sekarang benama dukuh Kepungan, yang terletak tidak jauh dai dukuh Mengoneng, Kelurahan Bojongbata.
Patih jongsari akhirnya tertangkap dan mendapat hukuman dari Sang Adipati. Raden Maoneng hidup kembali dan tetap menjadi menantu Sang Adipati. Mereka pun hidup bahagia sampai akhir hayat. Setelah Sang adipati mangkat, Raden Maonenglah yang akhirnya menggantikan sang Adipati menjadi penguasa di Kadipaten Pemalang hingga akhir hayatnya.
Tempat Raden Maoneng dimakamkan sekarang dikenal orang dengan nama Dukuh Mangoneng atau Mengoneng, yang terletak di Kelurahan Bojongbata, Kecamatan pemalang.

Legenda Banyumudal
Sabtu, 11 Februari 2012 by SEKAR ARUM W.Z in

Zaman dahulu kala ada sebuah tempat yang jauh dari keramaian kota Pemalang. Di situ ada seorang wanita yang cantik parasnya dan baik hatinya bernama Rara Juminten. Rara Juminten selain baik hati dia juga santun dan suka menolong. Dia punya kelebihan, dia serba kecukupan dan tak pernah kekurangan air walaupun musim kemarau panjang.
            Pada suatu hari, datanglah beberapa warga desa ke tempat Rara Juminten. Dengan senang hati rara Juminten menerima kedatangan mereka. Seorang diantara mereka berkata, “Selamat siang Rara Juminten, tolong bantulah kami, pada musim kemarau seperti ini kami selalu kekurangan air bahkan akhirnya panen kami gagal karena kekeringan”. “Oh ya saudara-saudara, baiklah saya akan mencoba, namun saya tidak menjanjikan, manusia boleh berusaha, namun hanya Tuhan yang menentukan,” kata Rara Juminten.
            Kemudian Rara Juminten bersemedi selama 3 hari, dalam semedinya ia bertemu dengan Dewi Rantam Sari dan mengatakan, “Warga desa bisa memperoleh air dengan 3 syarat yaitu, dengan mengorbankan jejaka muda, menyediakan rujak polo, dan mengorbankan gadis yang masih suci.” Namun Rara Juminten menawarnya, “Bolehkah syarat itu kami ganti dengan kepala kerbau, bubur sum-sum, dan ayam yang masih dara”. “Ya, baiklah, laksanakan pada tempat yang telah ditentukan, dan jangan lupa sediakan minuman berupa kopi, teh, air kelapa, juga rokok serta kemenyan,” kata Dewi Rantam Sari.
            Lalu Rara Juminten dan warga mempersiapkan. Rara Juminten berkata “Kami mohon bapak-bapak membuat bambu yang runcing untuk menggranggang,”. “Baik Rara,” kata mereka. “Silahkan warga yang lain membawa perlengkapan sesaji dan mengikuti saya,” kata Rara Juminten. Mereka menuju ke suatu tempat dan memendam kepala kerbau lalu menancapi bambu di sekeliling sesaji. Setelah selesai, salah seorang dari mereka berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini,” Rara Juminten hanya berdiam diri dan berharap supaya ada air yang muncul.
            Perlahan-lahan sumber air keluar dari tempat sesaji tadi dan semakin banyak. Melihat ada aliran air yang semakin deras, ada seorang warga yang langsung berlari kearah tempat sesaji “ Wah ada air. Hey kemarilah disini banyak sekali air yang keluar!! Ayo cepatlah kalian semua kesini dan melihat ini semua!!”. Kemudian warga desa yang mendengar teriakan bahwa ada air yang banyak mereka langsung pergi ketempat sesaji, “Wah benar ada air!! kita tidak akan kekeringan lagi. Terimakasih Rara, kau telah membantu kami semua, tanpa bantuanmu air ini tidak akan muncul. Kami semua sangat berterimakasih padamu Rara Juminten,” kata seorang warga.


“Saudara-saudaraku, ini semua berkat Tuhan. Kita harus bersyukur atas semua kejadian ini pada Tuhan, berkatNya lah air ini bisa muncul disini,” kata Rara. “Baik, baik, terima kasih atas nasehatmu Rara Juminten,” kata salah seorang warga.
            Ternyata air tadi mengalir kemana-mana dan sepanjang tempat mengalirnya air tersebut membentuk sebuah sungai dan warga menyebutnya Sungai Granggang, sungai itu ternyata mengalir semakin ke utara hingga sampai pada tempat wisata yang bernama Cempaka Wulung. Dan orang Jawa yang melihat air yang memancar dari tempat sesaji tadi menyebutnya mudal-mudal, maka oleh warga daerah itu dinamai Banyumudal, yang berada di Kabupaten Pemalang tepatnya di Kecamatan Moga.

            Demikian cerita rakyat dari Pemalang. Dan dari cerita tadi dapat kita petik sisi positifnya yaitu, siapapun diri kita walaupun kaya, cantik, dan berkecukupan, selagi kita mampu untuk menolong orang lain dan berbuat baik, maka harus kita lakukan. Sebab akan menghasilkan buah baik bagi orang lain dan diri kita sendiri.